Vaginitis adalah infeksi atau inflamasi yang terjadi pada vagina, Kondisi ini umumnya disertai indikasi berupa munculnya keputihan, perubahan warna dan jumlah keputihan yang dialami, bau yang ditimbulkan, iritasi atau gatal-gatal pada vagina, rasa sakit saat berhubungan seks maupun buang air kecil, serta flek atau pendarahan ringan.
Meski demikian, ada juga pengidap yang mungkin merasakan gejala lain, misalnya bau tidak sedap pada vagina (terutama setelah berhubungan seks) atau bahkan sama sekali tidak merasakan gejala
Meski demikian, ada juga pengidap yang mungkin merasakan gejala lain, misalnya bau tidak sedap pada vagina (terutama setelah berhubungan seks) atau bahkan sama sekali tidak merasakan gejala
.Vaginitis memang bisa ditangani sendiri tanpa ke dokter, terutama jika sudah mengenali gejala-gejalanya karena pernah mengalami vaginitis dan sembuh sepenuhnya, Namun apabila merasakan gejala-gejala yang tidak biasa atau perubahan pada vagina, konsultasi pada dokter sebaiknya dilakukan. Berikut beberapa penjelasan dibawah ini?
- Belum pernah mengalami infeksi vagina.
- Merasakan gejala yang berbeda dengan infeksi vagina yang pernah dialami.
- Berhubungan seks dengan lebih dari 1 orang. Gejala vaginitis terkadang mirip dengan penyakit menular seksual.
- Mangalami demam, menggigil, atau nyeri pada panggul.
- Tetap mengalami infeksi vagina meski sudah menggunakan obat antijamur yang dijual bebas.
Penyebab Vaginitis.
Jenis vaginitis ditentukan berdasarkan penyebabnya yang sebagian besar dapat berupa:
Jenis vaginitis ditentukan berdasarkan penyebabnya yang sebagian besar dapat berupa:
- Infeksi jamur atau bakteri. Pada kondisi normal, vagina memang memiliki sebagian kecil sel jamur atau bakteri tanpa menyebabkan gangguan apa pun. Tetapi infeksi akan terjadi jika jamur atau bakteri tersebut berkembang biak tanpa terkendali.
- Penyakit menular seksual, seperti trikomoniasis, klamidia, dan herpes genital.
- Iritasi akibat bahan-bahan kimia, misalnya karena kandungan sabun, pewangi pakaian, atau kondom yang memicu reaksi alergi.
- Membasuh bagian dalam vagina.
- Atrofi vagina, yaitu penipisan dinding vagina karena penurunan kadar estrogen setelah menopause.
Faktor Risiko Vaginitis.
Selain penyebabnya yang beragam, terdapat banyak faktor lain yang bisa meningkatkan resiko seorang wanita untuk mengidap vaginitis, Faktor-faktor resiko tersebut meliputi:
Selain penyebabnya yang beragam, terdapat banyak faktor lain yang bisa meningkatkan resiko seorang wanita untuk mengidap vaginitis, Faktor-faktor resiko tersebut meliputi:
- Perubahan hormon, misalnya karena menopause, hamil, atau menggunakan pil kontrasepsi.
- Aktif berhubungan seks, terutama jika memiliki lebih dari 1 pasangan.
- Mengidap penyakit menular seksual.
- Efek samping obat-obatan, contohnya antibiotik dan steroid.
- Penyakit diabetes yang tidak ditangani dengan baik.
- Menggunakan produk pembersih daerah intim, misalnya sabun sirih.
- Mengenakan pakaian lembap atau ketat.
Diagnosis Vaginitis.
Langkah awal dalam proses diagnosis vaginitis adalah dengan menanyakan gejala-gejala yang dialami, riwayat kesehatan pasien, serta memeriksa kondisi vagina, Dokter kemudian akan mengambil sampel cairan vagina untuk diperiksa di laboratorium agar penyebabnya bisa terdeteksi.
Keseimbangan pH (suasana asam atau basa) pada vagina juga akan diperiksa. Peningkatan kadar pH dapat menandakan adanya vaginosis bakterialis.
Pengobatan Vaginitis.
Setelah mengonfirmasi hasil diagnosis, dokter akan menerapkan metode pengobatan berdasarkan penyebab vaginitis. Langkah pengobatan yang diberikan biasanya meliputi:
Antibiotik? Berdasarkan Pedoman Nasional untuk Infeksi Menular Seksual, metronidazole merupakan obat pilihan untuk menangani kasus vaginitis akibat bakteri, Metronidazole dapat diberikan sebagai dosis tunggal atau diminum dua kali sehari selama 1 minggu, Penderita yang mengonsumsi metronidazole tidak disarankan untuk mengonsumsi alkohol, karena dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Antijamur? Untuk vaginitis akibat jamur, berbagai pengobatan antijamur seperti miconazole, clotrimazole, fluconazole, maupun itraconazole dapat diresepkan oleh dokter, Khusus dua obat terakhir ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui, maupun anak di bawah 12 tahun.
Terapi pengganti hormon? Jika vaginitis disebabkan oleh penurunan hormon estrogen, dokter akan merekomendasikan terapi penggantian hormon untuk menggantikan hormon estrogen alami tubuh, Sedangkan dalam menangani vaginitis akibat reaksi alergi terhadap bahan-bahan kimia, dokter akan menyarankan penderita untuk menghindari substansi pemicu alerginya. Dokter juga terkadang akan memberikan obat oles estrogen untuk meredakan gejala-gejala vaginitis.
Di samping obat-obatan, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk meringankan gejala, sekaligus mempercepat proses penyembuhan, Langkah-langkah sederhana tersebut meliputi:
Langkah awal dalam proses diagnosis vaginitis adalah dengan menanyakan gejala-gejala yang dialami, riwayat kesehatan pasien, serta memeriksa kondisi vagina, Dokter kemudian akan mengambil sampel cairan vagina untuk diperiksa di laboratorium agar penyebabnya bisa terdeteksi.
Keseimbangan pH (suasana asam atau basa) pada vagina juga akan diperiksa. Peningkatan kadar pH dapat menandakan adanya vaginosis bakterialis.
Pengobatan Vaginitis.
Setelah mengonfirmasi hasil diagnosis, dokter akan menerapkan metode pengobatan berdasarkan penyebab vaginitis. Langkah pengobatan yang diberikan biasanya meliputi:
Antibiotik? Berdasarkan Pedoman Nasional untuk Infeksi Menular Seksual, metronidazole merupakan obat pilihan untuk menangani kasus vaginitis akibat bakteri, Metronidazole dapat diberikan sebagai dosis tunggal atau diminum dua kali sehari selama 1 minggu, Penderita yang mengonsumsi metronidazole tidak disarankan untuk mengonsumsi alkohol, karena dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Antijamur? Untuk vaginitis akibat jamur, berbagai pengobatan antijamur seperti miconazole, clotrimazole, fluconazole, maupun itraconazole dapat diresepkan oleh dokter, Khusus dua obat terakhir ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui, maupun anak di bawah 12 tahun.
Terapi pengganti hormon? Jika vaginitis disebabkan oleh penurunan hormon estrogen, dokter akan merekomendasikan terapi penggantian hormon untuk menggantikan hormon estrogen alami tubuh, Sedangkan dalam menangani vaginitis akibat reaksi alergi terhadap bahan-bahan kimia, dokter akan menyarankan penderita untuk menghindari substansi pemicu alerginya. Dokter juga terkadang akan memberikan obat oles estrogen untuk meredakan gejala-gejala vaginitis.
Di samping obat-obatan, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk meringankan gejala, sekaligus mempercepat proses penyembuhan, Langkah-langkah sederhana tersebut meliputi:
- Menjaga vagina dan area di sekitarnya tetap bersih serta kering. Gunakanlah sabun tanpa bahan pewangi dan seka hingga benar-benar kering. Hindari berendam air hangat selama infeksi belum pulih sepenuhnya.
- Jangan membasuh bagian dalam vagina.
- Gunakan kompres air dingin untuk mengurangi ketidaknyamanan pada vagina.
- Kenakan pakaian dalam yang tidak ketat dan berbahan katun.
Vaginitis memang tidak berakibat fatal, Meski demikian, vaginitis yang dibiarkan dapat menyebabkan komplikasi-komplikasi tertentu, misalnya menjadi lebih rentan terinfeksi penyakit menular seksual seperti klamidia dan HIV, Bagi pengidap yang sedang hamil, vaginitis akibat trikomoniasis dan vaginosis bakterialis diduga dapat memicu kelahiran prematur dan bayi yang lahir beresiko memiliki berat badan yang tidak memadai. Nah itu saja informasi dari kami semoga bermanfaat.
Posted by:celclenz2u.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar